Tips Mengatasi Stress Pasca Perceraian
Kalian baru saja bercerai? Atau memutuskan untuk segera bercerai? Atau malah, baru terpikir untuk bercerai? Jika jawabannya “iya”, maka kalian terdampar di laman yang tepat. Silakan baca sampai habis, tentang tips mengatasi stress pasca perceraian.
Pernikahan dan Dinamikanya
Pernikahan adalah ibadah terlama dan terberat dalam hidup. Karena itulah, ada yang mengibaratkan bahwa menikah merupakan separuh dari agama, penyempurna agama. Karena di dalamnya banyak sekali ladang pahalanya. Baik dari keta’atan istri terhadap suaminya, tanggung jawab suami terhadap istri dan anak-anak, hingga dari buah kesabaran dalam menghadapi kerikil-kerikil atau bahkan batu besar yang membuat pernikahan tidak melulu berjalan mulus.
Bagaimana jika pernikahan tidak berjalan mulus?
Bukannya melipatgandakan kebahagiaan individu yang terlibat di dalamnya, malah menimbun duka, dosa, dan banyak mudharat bagi suami dan istri?
Terlepas dari apa pun masalahnya, sebagai individu dewasa yang memiliki akal sehat dan budi pekerti, sudah sewajibnya manusia mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Mengerti cara memanusiakan pasangannya, serta mengerti dan menjalankan tugas dan tanggung jawab dalam pernikahan sesuai dengan porsinya.
Jika hak dan kewajiban tersebut tidak dapat terpenuhi, maka bukannya tidak mungkin akan timbul kekecewaan atau sakit hati mendalam di salah satu pihak. Yang mana akan menyebabkan turunnya kepercayaan, serta tingkat kebahagiaan dalam satu lingkungan keluarga yang harusnya “ideal”.
Setiap orang tentu punya standar tersendiri tentang batas toleransi “ketidakidealan” dalam berumah tangga. Misalnya, bagiku, ideal dalam berumah tangga adalah suami bekerja, istri di rumah mengurus anak. Bisa jadi bagi orang lain tidak masalah kalau istrinya sibuk di kantor, sementara suaminya di rumah saja, mengurus rumah tangga.
Atau, misalnya bagiku standar ideal dalam berumah tangga adalah suami harus setia pada satu istri. Tapi, bisa jadi standar ideal bagi orang lain adalah punya istri lebih dari satu, atau mungkin ada wanita lain yang tidak dinikahi-yang penting suami tetap jadi family man di rumah. Jadi ayah yang baik untuk anak-anak, dengan nafkah yang tidak berkurang.
See?
Dengan kondisi “berbeda-beda” tersebut, tinggal bagaimana batas toleransinya saja. Jika personel (baca: istri dan suami) masih bisa sepakat dan bahagia dengan apa pun kondisinya, maka it’s okay. Masa bodoh orang mau bilang apa juga.
Akan tetapi, jika sudah diluar batas toleransi, maka akan menjadi konflik yang apabila tidak tertangani dengan baik maka akan menimbulkan masalah demi masalah baru. Yang bukan tidak mungkin, bermuara pada terjadinya perceraian.
Namun perlu diingat bahwa bercerai merupakan pintu darurat, yang hanya boleh dibuka jika tidak ada pilihan lain yang bisa ditempuh.
Tahapan Psikologis Pasca Perceraian
Perceraian tak hanya berdampak pada perubahan status, tapi juga dapat berdampak kurang baik bagi kesehatan mental individunya.
Aku pun pernah mengalami masalah fisik yang cukup parah karena kesulitan mengatasi stress pasca perceraian yang berlarut-larut karena satu dan lain hal. Waktu itu, kondisi psikisku sangat tidak baik, yang akhirnya mengakibatkan kondisi kulit eksim, asam lambung meningkat hingga apapun yang kumakan akan kumuntahkan lagi, sesak napas, dan tidak berselera untuk beraktivitas (lebih memilih tidur seharian).
Kurang lebih, begini tahapan psikologis yang dilalui oleh individu yang mengalami perceraian:
Tahap Denial/ Menyangkal
Individu merasa tidak terjadi apa pun, hidupnya berlangsung dengan normal. Mereka juga sering menolak untuk mengakui bahwa perceraian itu terjadi. Individu merasa baik-baik saja, dan tidak ada masalah dalam hidupnya.
Tahap Marah
Merupakan gabungan dari perasaan takut dan sedih yang diekspresikan dalam wujud amarah. Individu merasa marah dan benci kepada diri sendiri, mantan pasangan, atau orang lain karena merasa gagal, merasa tak mampu mempertahankan kelangsungan pernikahan.
Tahap Tawar-Menawar
Di tahap ini, muncul rasa penyesalan atas terjadinya perceraian. Ada juga beberapa orang yang meminta rujuk/ kesempatan kedua untuk bisa kembali kepada mantan pasangannya.
Tahap Depresi
Berbagai gejala muncul di tahap ini, seperti insomnia, sedih berkepanjangan, merasa tidak berharga, tidak selera makan, sensitif terhadap kata-kata atau masukan orang lain, atau sangat pesimis dalam hidup.
Tahap Menerima/ Mengikhlaskan
Ini merupakan tahap di mana individu yang mengalami perceraian akhirnya melakukan perenungan terhadap apa  yang sudah terjadi. Ia akan tiba pada tahap penerimaan, bahwa perceraian adalah garis hidupnya yang sudah ditentukan Tuhan. Setelah itu, biasanya muncul keberanian untuk memulai lembaran baru, dan mampu melihat masa depan dengan lebih bersemangat.
Bisa dibilang kalau di tahap ini, seseorang sudah cukup berhasil dalam mengatasi stress pasca perceraian.
Mengatasi Stress Pasca Perceraian
Tidak ada yang mengatakan bahwa proses dan pasca perceraian adalah hal yang mudah untuk dilewati. Tapi, selalu ada cara untuk mengatasi stress pasca perceraian itu sendiri, diantaranya adalah:
Validasi Perasaan Kita
Sadari bahwa rasa sedih, lelah, bingung, marah, dan berbagai emosi negatif itu nyata adanya. Justru itu sinyal bahwa hati dan jiwa masih berfungsi dengan normal. Tak ada yang salah dengan kecemasan tentang masa depan. Biarkan, “peluk” semua rasa tak nyaman itu, sampai nanti waktu yang akan membuat perasaan kita membaik secara perlahan.
Jangan Menyendiri
Pasca perceraian, ada masa-masa dimana aku tidak berani tidur sendirian di kamar. Saat itu, aku, Mama, dan Cinta akan menggelar kasur di ruang tengah, dan kami tidur bersama-sama.
Mengapa? Karena setiap sendirian aku akan mudah mengingat-ingat masa lalu, dan kemudian menangis lagi. Terbayang kan, betapa tidak enaknya, apalagi pagi harinya aku harus bekerja.
Jadi, daripada berangkat kerja dengan kondisi mental yang down dan kantung mata yang besar karena sembab, aku putuskan untuk tidak melalui ini semua sendirian.
Olahraga dan Olahrasa
Jangan lupakan ini ya! Berolahragalah di luar ruangan. Berjalan kaki, berlari, hirup udara segar dan berjemur di matahari pagi.
Olahraga akan membuat peredaran darah menjadi lebih lancar dan mood jadi membaik. Selain itu, tubuh juga akan menjadi lelah sehingga dapat memperbaiki kualitas tidur malam juga. Jaga pola makan yang bergizi seimbang, serta hindari rokok dan alkohol.
Selain itu, cobalah berpikir positif. Percaya kalau masa-masa yang tak mudah ini akan segera berakhir. Kita bisa menekuni hobi, berkumpul dengan teman-teman dari komunitas single parent, dan membangun kualitas kelekatan yang lebih baik dengan anak.
Baca juga: Takut Menikah (Lagi)?
Perbaiki Kualitas Istirahat
Tak masalah kalau laju hidup kita harus melambat selama periode tertentu. Kita tidak perlu memaksakan sesuatu untuk bisa terlihat sebaik sedia kala. Biar bagaimanapun, ada bagian cerita hidup yang sudah tidak sama seperti saat sebelum bercerai. Jadi individu akan memerlukan istirahat yang cukup dan berkualitas, agar kondisi kesehatan mental dan fisik tetap terjaga.
Kalian bisa mengalokasikan waktu untuk liburan pendek, atau berkumpul dan mengobrol ringan dengan anak dan keluarga, misalnya.
Last But Not Least
Inilah bagian yang mungkin paling meragukan untuk dilakukan: datangi ahlinya untuk meminta bantuan, jika kalian sudah merasa tidak mampu menanggung semuanya sendirian.
Pergi ke dokter jika keluhan fisik akibat stress sudah melampaui batas, serta jangan pernah malu berkunjung ke psikolog untuk sesi konseling. Ingat, meminta bantuan kepada ahlinya bukanlah aib, melainkan upaya yang sangat wajar dalam mengatasi stress pasca perceraian.